BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pancasila sebagai dasar Negara,
pedoman dan tolok ukur kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia.
Tidak lain dengan kehidupan berpolitik, etika politik Indonesia tertanam dalam
jiwa Pancasila. Kesadaran etik yang merupakan kesadaran relational akan tumbuh
subur bagi warga masyarakat Indonesia ketika nilai-nilai pancasila itu
diyakini kebenarannya, kesadaran etik juga akan lebih berkembang ketika nilai
dan moral pancasila itu dapat di breakdown kedalam norma-norma yang di
berlakukan di Indonesia .
Pancasila juga sebagai suatu sistem
filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari
segala penjabaran dari norma baik norma hukum, norma moral maupun norma
kenegaraan lainya. Dalam filsafat pancasila terkandung didalamnya suatu
pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan
komprehensif (menyeluruh) dan sistem pemikira ini merupakan suatu nilai, Oleh
karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan
norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek prasis
melainkan suatu nilai yan bersifat mendasar.
Nilai-nilai pancasila kemudian
dijabarkan dalam suatu norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma
tersebut meliputi norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia
yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Kemudian yang ke dua adalah
norma hukum yaitu suatu sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Dalam pengertian inilah maka pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala
hukum di Indonesia, pancasila juga merupakan suatu cita-cita moral yang luhur
yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk
negara dan berasal dari bangsa indonesia sendiri sebagai asal mula (kausa
materialis).
Pancasila bukanlah merupakan pedoman
yang berlangsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu
sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber hukum baik meliputi norma moral
maupun norma hukum, yang pada giliranya harus dijabarkan lebih lanjut dalam
norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun
kebangsaan.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Etika
Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat
dibagi, menjadi beberapa cabang menurut lingkungan masing-masing. Cabang-cabang
itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan
filsafat praktis. Filsafat pertama berisi tentang segala sesuatu yang ada sedangkan
kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada
tersebut. Misalnya hakikat manusia, alam, hakikat realitas sebagai suatu
keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa yang kita ketahui dan tentang
yang transenden.
Etika termasuk kelompok filsafat
praktis dan dibagi menjadi. dua kelompok yaitu etika umum dan etika
khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran danpandangan-pandangan moral. itu dalam hubungannya dengan
berbagai aspek kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika adalah suatu ilmu yang
membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral
tertentu, atau bagaimana kita harus menggambil sikap yang bertanggung
jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika umum
merupakan prinsip- prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia sedangkan
etika khusus membahas prinsip-prinsip Etika
khusus dibagi menjadi etika individu yang membahas
kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial yang membahas tentang
kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup masyarakat, yang merupakan
suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Etika berkaitan dengan berbagai
masalah nilai karena etika pada pada umumnya membicarakan masalah-masalah yang
berkaitan dengan predikat nilai "susila" dan "tidak
susila", "baik" dan "buruk". Kualitas-kualitas ini dinamakan
kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang
menunjukan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak
susila. Sebenarnya etika banyak bertangkutan dengan Prinsip-prinsip
dasar pembenaran dalam hubungan dengan, tingkah laku manusia
(Kattsoff, 1986). Dapat juga dikatakan bahwa etika berkaitan
dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.
Etika adalah kelompok filsafat
praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang
ada) dan dibagi menjadi dua kelompok. Etika merupakan suatu pemikiran kritis
dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah
ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran
tertentu atau bagaimana kita bersikap dan bertanggung jawab dengan berbagai
ajaran moral. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut :
1. Etika Umum,
mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
2. Etika Khusus,
membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan berbagai
aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etikaindividual) maupun mahluk
sosial (etikasosial).
2.2 Pengertian Nilai, Norma, dan Moral
2.2.1 Pengertian Nilai
Nilai (value) adalah kemampuan
yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari
suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai
itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu obyeknya.
Dengan demikian,maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik
kenyataan-kenyataan lainnya.
Menilai berarti menimbang, suatu
kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian
untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu adalah suatu nilai yang
dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau
tidak baik, dan seterusnya. Penilaian itu pastilah berhubungan dengan unsur
indrawi manusia sebagai subjek penilai, yaitu unsur jasmani, rohani, akal,
rasa, karsa dan kepercayaan.
Nilai atau “value” (bahas Inggris)
termasuk bidang kajian filsafat, persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan
dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology, theory of
value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai.
Istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda
abstrak yang artinya “kebiasaan” (wath) atau kebaikan (goodness) dan kata kerja
yang artinya suatu tindakan kejiwaan tentu dalam menilai atau melakukan penilaian
(Frankena, 229)
Nilai adalah sesuatu yang berharga,
berguna, indah, memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan harkat,
martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan
mengarahkan sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem
nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan, disamping sistem sosial dan
karya. Cita-cita, gagasan, konsep dan ide tentang sesuatu adalah wujud
kebudayaan sebagai sistem nilai.
Oleh karena itu, nilai dapat
dihayati atau dipersepsikan dalam konteks kebudayaan, atau sebagai wujud
kebudayaan yang abstrak. Manusia dalam memilih nilai-nilai menempuh berbagai
cara yang dapat dibedakan menurut tujuannya, pertimbangannya, penalarannya, dan
kenyataannya. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan
menekankan pada segi-segi kemanusiaan yang luhur, sedangkan nilai politik
berpusat pada kekuasaan serta pengaruh yang terdapat dalam kehidupan masyarakat
maupun politik.
Dengan demikian, nilai adalah
sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya bathin dan menyadarkan manusia akan
harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan
mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia.Nilai sebagai suatu system
merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping system social dan karya.Oleh
karenaitu, Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam
kehidupan masyarakat pada enam macam, yaitu : nilaiteori, nilaiekonomi,
nilaiestetika, nilaisosial, nilaipolitikdannilaireligi.
Di dalam
Dictionary of sosiology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah
kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia.
Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok,
( the believed capacity of any object to statistfy a human desire). Jadi nilai
itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek
itu sendiri.Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita – cita, harapan –
harapan, dambaan – dambaan dan keharusan. Berbicara tentang nilai berarti berbicara
tentang das Sollen, bukan das Sein, kita masuk kerokhanian bidang makna
normatif, bukan kognotif, kita msuk ke dunia ideal dan bukan dunia real.
Meskipun demikian, diatara keduannya saling berhubungan atau saling berkait
secara erat, artinya bahwa das Sollen itu harus menjelma menjadi das Sein, yng
ideal harus menjadi real, yang normatif harus direalisasikan dalam perbuatan
sehari – hari yang merupakan fakta.
2.2.2 Pengertian
Norma
Kesadaran akan hubungan yang ideal
akan menumbuhkan kepatuhan terhadap peraturan atau norma. Norma adalah petunjuk
tingkah laku yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan
motivasi tertentu.
Norma sesungguhnya perwujudkan
martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma
merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai
untuk dipatuhi. Oleh sebab itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa
norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum, dan norma sosial.
Norma memiliki kekuatan untuk dapat dipatuhi, yang dikenal dengan sanksi,
misalnya:
a. Norma agama, dengan
sanksinya dari Tuhan
b. Norma kesusilaan, dengan
sanksinya rasa malu dan menyesal terhadap diri sendiri,
c. Norma kesopanan, dengan sanksinya
berupa mengucilkan dalam pergaulan masyarakat,
d. Norma hukum, dengan
sanksinya berupa penjara atau kurungan atau denda yang dipaksakan oleh alat
Negara.
2.2.3
Pengertian Moral
Moral berasal dari kata mos (mores)
yang artinya kesusilaan, tabiat, kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang
baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang
yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam
masyarakatnya ,dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika
sebaliknya terjadi, pribadi itu dianggao tidak bermoral. Moral dalam
perwujudannya dapat berupa peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik,
terpuji, dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan
norma, moral pun dapat dibedakan seperti moral ketuhanan atau agama, moral,
filsafat, moral etika, moral hukum, moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma
dan moral secara bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya.
2.3 Pengertian Hierarkhi
Nilai
Hierarkhi nilai sangat tergantung
pada titik tolak dan sudut pandang individu –masyarakat terhadap sesuatu obyek.
Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai
meterial. Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama
tingginya dan luhurnya. Menurutnya nilai-nilai dapat dikelompokan dalam
empat tingkatan yaitu :
1. Nilai kenikmatan adalah
nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa senang, menderita
atau tidak enak,
2. Nilai kehidupan yaitu nilai-nilai
penting bagi kehidupan yakni : jasmani, kesehatan serta kesejahteraan umum,
3. Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai
yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan dan pengetahuan murni,
4. Nilai kerohanian yaitu
tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci.
Sementara itu, Notonagoro membedakan
menjadi tiga, yaitu :
1. Nilai material yaitu
segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia,
2. Nilai vital yaitu segala
sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas atau
kegiatan,
3. Nilai kerokhanian yaitu
segala sesuatu yang bersifat rokhani manusia yang dibedakan dalam empat
tingkatan sebagai berikut :
a.
Nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta
manusia.
b.
Nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia.
c.
Nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak
manusia.
d.
Nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak.
Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai
dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga merupakan suatu
keharusan anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh
karena itu, nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan
setiap manusia. Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran
sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem
nilai.
Dari uraian
mengenai macam – macam nilai diatas, dapat dikemukakan pula bahwa yang mengandung
nilai itu bukan hanya sesuatu yang bewujud material saja, akan tetapi juga
sesuatu yang berwujud non material atau immatrial. Notonagoro berpendapat bahwa
nilai – nilai pancasila tergolong nilai – nilai kerokhanian, tetapi nilai –
nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan vital. Dengan demikian
nilai – nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai matrial, nilai
vital, nilai kebenaran, nilai keindahan, nilai kebaikan atau nilai moral,
maupun nili kesucian yang sistematika-hierarkis, yang dimulai dari sila
Ketuhanan yang Maha Esa sebagai ‘dasar’ sampai dengan sila Keadilan Sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia sebagai ‘tujuan’.
2.4 Hubungan antara
Nilai, Norma dan Moral
Keterkaitan nilai, norma dan moral
merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetap terpelihara di setiap
waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak digaris bawahi
bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi yang
kuat tumbuh dan berkembang.
Sebagaimana tersebut di atas maka
nilai akan berguna menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila dikongkritkan
dan diformulakan menjadi lebih obyektif sehingga memudahkan manusia untuk
menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari. Dalam kaitannya dengan moral maka
aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh integritas dan martabat
manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang
mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara moral dan etika kadang-kadang atau
seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian, etika dalam
pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang berada di tangan pihak yang
memberikan ajaran moral.
2.5 Pengertian
Etika Politik Dan Politik
2.5.1 Pengertian
Etika Politik
Etika,
atau filsafat moral mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika
politik yang demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik
yang baik dan mana yang jelek. Apa standar baik? Apakah menurut agama tertentu?
Tidak! Standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan
untuk memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada
kepentingan pribadi dan golongan tertentu, itu etika politik yang buruk.
Sayangnya, itulah yang terjadi di negeri ini.Etika politik bangsa Indonesia
dibangun melalui karakteristik masyarakat yang erdasarkan Pancasila sehingga
amat diperlukan untuk menampung tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam
aturan secara legal formal. Karena itu, etika politik lebih bersifat
konvensi dan berupa aturan-aturan moral. Akibat luasnya cakupan etika politik
itulah maka seringkali keberadaannya bersifat sangat longgar, dan mudah
diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah. Ditunjang dengan alam kompetisi untuk
meraih jabatan (kekuasaan) dan akses ekonomis (uang) yang begitu kuat, rasa
malu dan merasa bersalah bisa dengan mudah diabaikan.
Akibatnya
ada dua hal: (a) pudarnya nilai-nilai etis yang sudah ada, dan (b) tidak
berkembangnya nilai-nilai tersebut sesuai dengan moralitas publik. Untuk
memaafkan fenomena tersebut lalu berkembang menjadi budaya permisif, semua
serba boleh, bukan saja karena aturan yang hampa atau belum dibuat, melainkan
juga disebut serba boleh, karena untuk membuka seluas-luasnya upaya mencapai
kekuasaan (dan uang) dengan mudah.
Tanpa disadari, nilai etis politik bangsa Indonesia
cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral. Buktinya, semua harga
jabatan politik setara dengan sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang
harus dibayar si pejabat. Itulah mengapa para pengkritik dan budayawan secara
prihatin menyatakan arah etika dalam bidang politik (dan bidang lainnya) sedang
berlarian tunggang-langgang (meminjam Giddens, “run away”) menuju ke arah
“jual-beli” menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa dihargai dengan uang.
Namun
demikian, perlu dibedakan antara etika politik dengan moralitas politisi.
Moralitas politisi menyangkut mutu moral negarawan dan politisi secara pribadi
(dan memang sangat diandaikan), misalnya apakah ia korup atau tidak (di sini
tidak dibahas). Etika politik menjawab dua pertanyaan:
1. Bagaimana
seharusnya bentuk lembaga-lembaga kenegaraan seperti hokum dan Negara
(misalnya: bentuk Negara seharusnya demokratis); jadi etika politik adalah
etika institusi.
2. Apa yang
seharusnya menjadi tujuan/sasaran segala kebijakan politik, jadi apa yang harus
mau dicapai baik oleh badan legislatif maupun eksekutif.
Etika politik adalah perkembangan filsafat di zaman pasca
tradisional. Dalam tulisan para filosof politik klasik: Plato, Aristoteles,
Thomas Aquinas, Marsilius dari Padua, Ibnu Khaldun, kita menemukan pelbagai
unsur etika politik, tetapi tidak secara sistematik. Dua pertanyaan etika
politik di atas baru bisa muncul di ambang zaman modern, dalam rangka pemikiran
zaman pencerahan, karena pencerahan tidak lagi menerima tradisi/otoritas/agama,
melainkan menentukan sendiri bentuk kenegaraan menurut ratio/nalar, secara
etis. Karena itu, sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika
politik seperti:
a. Perpisahan antara
kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara (John Locke)
b.
Kebebasan berpikir dan beragama (Locke)
c.
Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie)
d.
Kedaulatan rakyat (Rousseau)
e.
Negara hokum demokratis/republican (Kant)
f.
Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)
g.
Keadilan sosial
2.5.2 Pengertian Politik
Pengertian
‘politik’ berasal dari kosakata ‘politics’, yang memiliki makna bermacam –
macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau ‘ negara’, yang menyangkut proses
penentuan tujuan – tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan
itu. Berdasarkan pengertian – pengertian pokok tentang politik maka secara
operasional bidang politik menyangkut konsep – konsep pokok yang berkaitan
dengan negara ( state), kekuasaan ( power), pengambilan keputusan ( decision
making), kebijaksanaan ( policy), pembagian ( distribution), serta alokasi (
allocation).
Pengertian
politik secara sempit, yaitu bidang politik lebih banyak berkaitan dengan para
pelaksana pemerintahan negara, lembaga – lembaga tinggi negara, kalangan
aktivis politik serta para pejabat serta birokrat dalam pelaksanaan dan
penyelengaraan negara. Pengertian politik yang lebih luas, yaitu menyangkut
seluruh unsur yang membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut masyarakat
negara.
2.6 Definisi Dimensi
Politisi Manusia
2.6.1 Manusia sebagai Makhluk Individu – Sosial
Paham
individualisme yang merupakan cikal bakal paham liberalisme, memandan manusia
sebagai makhluk individu yang bebas. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan
bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan tujuan berdasarkan
paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu.
Kalangan kolektivisme merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme memandang sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial saja. Manusia di pandang sebagai sekedar srana bagi masyarakat. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filosofi manusia sebagai makhluk sosial.
Kalangan kolektivisme merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme memandang sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial saja. Manusia di pandang sebagai sekedar srana bagi masyarakat. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filosofi manusia sebagai makhluk sosial.
Manusia sebgai
makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai individu dan segala aktivitas dan
kreativitas dalam hidupnya senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini di
karenakan manusia sebagai warga masyrakat atau sebagai makhluk sosial. Manusia
di dalam hidupnya mampu ber-eksistensi karena orang lain dan ia hanya dapt
hidup dan berkembang karena dalam hubungannya dengan orang lain. Segala
keterampilan yang dibutuhkannya agar berhasil dalam segal kehidupannya serta
berpartisipasi dalam kebudayaan diperolehnya dari masyarkat.
Dasar
filosofis sebagai mana terkandung dalam pancasila yang nilainya terdpt dalm
budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah
bersifat ‘monodualis’. Maka sifat serta ciri khas kebangsan dan kenegaraan
indonesia, bukanlah totalitas individualistis ataupun sosialistis melainkan
monodualistis.
2.6.2 Dimensi Politis Kehidupan Manusia
Berdasarkan
sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, dimensi politis
mencakup lingkaran kelembagan hukum dan negara, sistem – sitem nilai serta
ideologi yang memberikan legitmimasi kepadanya. Dalam hubungan dengan sifat
kodrat manusia sebagi makhluk individu dan sosial, dimensi politis manusia
senntiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa
berkaitn dengan kehidupan masyrakat secara keseluruhan. Sebuah keputusan
bersifat politis mnakala diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat
sebagai suatu keseluruhan. Dengan demikian dimensi politis manusia dapat
ditentukan sebagai suatu kesadarn manusia akan dirinya sendiri sebagai anggota
masyarakat sebagai sutu keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan
di tentukan kembali oleh kerangka kehidupanny serta ditentukan kembali oleh
tindakan – tindakannya.
Dimensi
politis manusia ini memiliki dua segi fundmental, yaitu pengertian dan kehendak
untuk bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap
aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan
tindakkan moral manusia.
2.7 Nilai-nilai
Tergandung Dalam Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik
Sila pertama
‘Ketuhanan yang Maha Esa’ serta sila kedua ‘ Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’
adalah merupakan sumber nilai –nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan
negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negeri di jalankan sesuai
dengan:
a) Asas
legalitas ( legitimasi hukum).
b) Di sahkan
dan dijalankan secara demokratis ( legitimasi demokratis)
c)
Dilaksanakan berdasarkan prinsip – prinsip moral / tidak bertentangan dengannya
(legitimasi moral).
Pancasila
sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan
dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasan, kenijaksanan yang
menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarka legitimasi moral
religius ( sila 1 ) serta moral kemanusiaan ( sila 2). Negara Indonesia adalah
negara hukum, oleh krena itu ‘ keadilan’ dalam hidup bersama ( keadilan sosial
) sebgai mana terkandung dalam sila 5, adalah merupakan tujuan dalam kehidupan
negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan pnyelenggraan negara, segala
kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa harus berdasarkan
atas hukum yang berlaku
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat ( sila 4). Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasan negara. Oleh karena itu pelaksanaan dan pnyelenggraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan, serta kewenangan harus dikembalikan pada rakyat sebagai pendukung pokok negara.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat ( sila 4). Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasan negara. Oleh karena itu pelaksanaan dan pnyelenggraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan, serta kewenangan harus dikembalikan pada rakyat sebagai pendukung pokok negara.
2.8 Lima Prinsip
Dasar Etika Politik Pancasila
Kalau
membicarakan Pancasila sebagai etika politik maka ia mempunai lima prinsip itu
berikut ini disusun menurut pengelompokan pancasila, maka itu bukan sekedar
sebuah penyesuaian dengan situasi Indonesia, melainkan karena Pancasila
memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar etika
politik modern (yang belum ada dalam Pancasila adalah perhatian pada lingkungan
hidup).
1.
Pluralisme
Pluralisme
adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk hidup dengan
positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda
pandangan hidup, agama, budaya, adat.[1][5] Pluralisme mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan
beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi.
Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang.
2. Hak Asasi Manusia
Jaminan hak-hak
asasi manusia adalah bukti Kemanusia yang adil dan beradab. Mengapa? Karena
hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib
tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai
dengan martabatnya sebagai manusia. Karena itu, Hak-hak asasi manusia adalah
baik mutlak maupun kontekstual dalam pengertian sebagai berikut.
a. Mutlak karena manusia
memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, melainkan karena ia
manusia, jadi dari tangan Sang Pencipta.
b. Kontekstual
karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, di ambang
modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan
seblaiknya diancam oleh Negara modern.
Bila mengkaji hak asasi manusia secara umum, maka dapat dibedakan dalam
bentuk tiga generasi hak-hak asasi manusia:
1) Generasi pertama
(abad ke 17 dan 18): hak-hak liberal, demokratis dan perlakuan wajar di depan hokum.
2) Generasi kedua
(abad ke 19/20): hak-hak sosial
3) Generasi
ketiga (bagian kedua abad ke 20): hak-hak kolektif (misalnya minoritas-minoritas etnik).
3.
Solidaritas Bangsa
Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan
juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya
hidup menurut harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang
sesuatu pada hidup manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembnag secara
melingkar: keluarga, kampong, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan,
solidaritas sebagai manusia.[2][6] Maka di sini termasuk rasa kebangsaan.
Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam
kaitan dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu dilanggar dengan kasar
oleh korupsi.
4. Demokrasi
Prinsip
“kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia, atau sebuah elit, atau sekelompok
ideology, atau sekelompok pendeta/pastor/ulama berhak untuk menentukan dan
memaksakan (menuntut dengan pakai ancaman) bagaimana orang lain harus atau
boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak
menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Demokrasi
adalah “kedaulatan rakyat plus prinsip keterwakilan”.[3][7]
Jadi demokrasi memerlukan sebuah
system penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.
Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas
dua dasar:
a.
Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap
HAM menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.
b.
Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan
terhadap hukum (Negara hukum demokratis). Maka kepastian hukum merupakan unsur
hakiki dalam demokrasi (karena mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).
5. Keadilan
Sosial
Keadilan
merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Maksud baik apa
pun kandas apabila melanggar keadilan. Moralitas masyarakat mulai dengan
penolakan terhadap ketidakadilan. Keadilan social mencegah bahwa masyarakat
pecah ke dalam dua bagian; bagian atas yang maju terus dan bagian bawah yang
paling-paling bisa survive di hari berikut.
Tuntutan
keadilan social tidak boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan
ide-ide, ideology-ideologi, agama-agama tertentu; keadilan social tidak sama
dengan sosialisme. Keadilan social adalah keadilan yang terlaksana. Dalam
kenyataan, keadilan social diusahakan dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan
yang ada dalam masyarakat. Di mana perlu diperhatikan bahwa
ketidakadilan-ketidakadilan itu bersifat structural, bukan pertama-pertama
individual. Artinya, ketidakadilan tidak pertama-tama terletak dalam sikap
kurang adil orang-orang tertentu (misalnya para pemimpin), melainkan dalam
struktur-struktur politik/ekonomi/social/budaya/ideologis. Struktur-struktur
itu hanya dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak hanya dengan
kehendak baik dari atas. Ketidakadilan structural paling gawat sekarang adalah
sebagian besar segala kemiskinan. Ketidakadilan struktur lain adalah
diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua diskriminasi atas dasar
ras, suku dan budaya.
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari makalah ini adalah
1.
Pancasila adalah sebagai suatu sistem filsafat yang pada hakikatnya merupakan
nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum,
norma moral maupun norma kenegaraan laianya.
2.
Suatu pemikiran filsafat tidak seccara langsung menyajikan norma – norma yang
merupakan pedoman dakam suatu tindakan atau aspek praktis melainkan nilai –
nilai yang bersifat mendasar.
3.
Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang prinsip – prinsip yang berlaku
bagi setiap tindakan manusia yang membicarakan masalah – masalah yang berkaitan
dengan predikat “susila” dan “tindak susila”, “baik” dan “buruk”.
4.
Hubungan sistematik antara nilai, norma dan moral tersebut terwujud dalam suatu
tingkah laku praktis dalam kehidupan manusia.
5.
Etika politik adalah termasuk lingkup etika sosial manusia yang secara harfiah
berkaitan dengan bidang kehidupan politik.
DAFTAR PUSTAKA
Http:/Plityz. Blogs pot. Com/2010/Pancasila – Sebagai –
Etika – Politik.html
Diakses tanggal 16 september 2014.
Http:/ www.scribd com/doc/2433447/Pancasila Sebagai Etika
Poltik. HtmlDiakses
tanggal 16 september 2014.
Http:/Khairunnisa Zhet. Blog Spot. Com/2011/06/ Pancasila
Sebagai Etika Poltik.html
.Diakses tanggal 16 september 2014.
Kaelan, 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta:Paradigma
Kaelan. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta:paradigma
Kaelan dan Ahmad Zubaidi. 2007.
Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma
0 komentar:
Posting Komentar