Bagaimana
sih mendidik anak yang baik? Anak saya sangat nakal, tidak mau belajar,
bagaimana caranya agar ia mau belajar? Anak saya sebenarnya pintar tapi
malasnya minta ampun, sehingga nilainya jelek, bagaimana membuat ia suka
belajar? Bagaimana agar anak suka matematika? Anak saya paling benci fisika,
gimana caranya agar ia suka fisika? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan
sejenis diajukan ketika saya memberikan seminar-seminar di berbagai tempat di
Indonesia.
Konsep mestakung dapat kita pakai untuk memotivasi anak.
Caranya adalah dengan menempatkan anak pada kondisi kritis. Ketika
anak berada pada kondisi kritis maka akan terjadi mestakung, dimana seluruh
sel-sel tubuh akan bekerja bersama-sama menghasilkan suatu motivasi dari dalam.
Bukan itu saja, nanti secara ajaib semesta (lingkungan sekitar) akan
membantu/mendukung – Mestakung!
Kondisi
kritis dapat diciptakan dengan memberikan akses seluas-luasnya bagi anak untuk
untuk mengerjakan sesuatu yang positif tanpa paksaan. Seorang Ibu senang
membaca. Di rumahnya banyak
sekali buku. Ia tidak pernah memaksa anaknya membaca
buku-buku dia. Tapi buku-bukunya mudah dijangkau anak-anaknya. Suatu hari
anaknya yang berumur 9 tahun secara diam-diam membaca buku kisah hidup Napoleon
Bonarparte. Anak itu terobsesi untuk menjadi jenderal seperti Napoleon – Anak
ini kita katakan berada pada kondisi kritis. Mestakung terjadi, anak ini
melahap banyak sekali buku pelajaran. Walau masih umur 9-10 tahun tapi sudah
belajar matematika tingkat perguruan tinggi. Luar biasa kalau mestakung
bekerja.
Seorang
Ibu lain sering menyetel televisi untuk acara-acara sains. Anaknya yang berusia
10 tahun yang tadinya acuh tak acuh, suatu saat ikut menonton acara pelajaran
kimia yang disajikan secara menarik. Selesai acara anak itu ingin menjadi
ilmuwan yang hebat.- ia berada pada kondisi kritis. Motivasinya begitu kuat. Buku pelajaran kimia kelas 1-3
SMA dilalapnya hanya dalam waktu kurang dari setahun. Dan ia menjadi anak yang
pintar bukan hanya kimia tetapi juga matematika.
Seorang ayah banyak mengoleksi buku-buku tentang
Einstein. Anaknya penasaran dengan koleksi ini, diam-diam dia membaca dan
membaca. Ia juga belajar
sendiri fisika SMA terutama tentang teori gravitasi. Tidak puas dengan
pelajaran SMA ia belajar pelajaran universitas tentang teori gravitasi
Einstein. Akhirnya di usia 12 tahun ia berhasil menulis beberapa paper tentang
teori gravitasi Einstein. Kini ia sedang kuliah dan membuat thesis di Swedia
dengan beasiswa.
Cara lain untuk menempatkan anak pada kondisi kritis
adalah dengan mempertemukan anak dengan ilmuwan hebat atau peraih Nobel,
membawa anak ke acara-acara science fair, mempertemukan anak-anak dengan para
juara lomba internasional, mengajak ke museum sains, mengajak bermain
dengan matematika, atau membawa ia ke konser musik.
Ketika anak itu sudah pada kondisi kritis dan
termotivasi, langkah berikutnya adalah menyediakan fasilitas bagi anak
itu untuk mencapai ambisinya itu. Disini kita hanya boleh
menyediakan fasilitas pendukung, tidak boleh memaksa anak. Paksaan
tidak akan menimbulkan mestakung dalam diri anak. Sebaliknya akan membuat anak
akan melakukan hal sebaliknya.
Selanjutnya
adalah terus mendampingi anak, memenuhi segala kebutuhannya agar apa yang
diimpi-impikan itu bisa tercapai. Disini pengorbanan orang tua sangat besar.
Ibu Tuti bercerita bahwa ketika anaknya berusia 2,5 tahun, keingintahuan
anak ini sangat besar, ia ingin belajar membaca dan ingin dibacakan buku.
Ibu Tuti dengan sabar membacakan berbagai buku dan ensiklopedi anak-anak
3 kali sehari, ini berlangsung terus hingga 1 tahun. Ibu Tuti pernah mengalami
jenuh, kesal dan bosan membacakan buku-buku itu. Tapi ia terus sabar.
Tahu apa yang terjadi setelah anak itu berusia 4 tahun? Anak itu menjadi sangat
cinta baca dan tumbuh jadi anak yang pintar. Usia 9 tahun pengetahuan
anak itu sangat luas dan ia bisa membuat cerita dan komik yang menarik. Sang
Ibu menuai apa yang sudah ditabur dengan susah payah.(***)
(Yohanes Surya)
(Yohanes Surya)
0 komentar:
Posting Komentar